Gua Maria - Sendang Purwaningsih
Paroki Maria Ratu Damai
Paroki Maria Ratu Damai
Gua Maria - Sendang Purwaningsih
Gua Maria Sendang Purwaningsih berada di Desa Purworejo,
Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Gua Maria Sendang Purwaningsih
merupakan salah satu tempat tujuan para peziarah khususnya umat Katolik
di daerah Malang dan sekitarnya. Untuk mencapai tempat peziarahan ini
dari Kota Malang bisa menuju arah Kepanjen, lalu lurus ke arah selatan
melewati Bendungan Sengguruh ke kanan arah Pagak, lalu menuju
Sumbermanjing Kulon, di perempatan Sumbermanjing belok kanan terus menuju ke Donomulyo. Sebelum sampai ke Gereja
Katolik Paroki Ratu Damai Purworejo, berbelok ke kanan di mana Gua Maria Sendang Purwaningsih berada.
Berbeda dengan Gua Maria
yang sudah dikenal luas seperti Puhsarang di Kediri dan Sendangsono di
Kulonprogo, Gua Maria Sendang Purwaningsih ini kelihatan cukup sunyi.
Tempatnya berada di rimbunnya pepohonan lebat dan bebatuan yang berada
sejauh sekitar satu kilometer dari jalan. Namun, itulah keistimewaannya
sehingga di Sendang Purwaningsih diliputi kesenyapan dan serasa
mendamaikan hati dan batin bagi yang akan datang. Tempat ini berada di
atas tanah padas dan terdapat papan semedi dan palerepan. Palerepan
adalah aula untuk bermalam atau bisa juga digunakan untuk mengadakan
acara kerohanian.
Kaum muda Katolik pun tidak jarang
yang sering melakukan camping rohani di sini. Bagi pengunjung yang ingin
mengadakan camping dapat menghubungi Romo Paroki dan penanggung jawab
gua ini. Sangat mudah dan pastinya cocok untuk acara pendalaman iman.
Pada hari Kamis Kliwon dan pada Minggu ketiga di gua ini diadakan misa.
Kamis Kliwon adalah misa ritual untuk permohonan doa dan pada Minggu
ketiga dalam bulan itu diadakan misa Kerahiman. Para umat yang hadir
tidak hanya umat setempat namun juga banyak umat Katolik dari paroki
lain.
Keberadaan Gua Maria Sendang Purwaningsih tak
lepas dari keberadaan umat Katolik di Paroki Purworejo ini. Umat Katolik
di Purworejo diawali oleh seorang pemuda bernama Wagirin. Pada tahun
1932-1934 ia bersekolah di Landbauw School yang menjadi katekumen. Ia
dibimbing oleh Mijnneer A. Rubiman sampai menerima sakramen permandian.
Wagirin dibaptis oleh Romo A.E.Y. Alber, O Carm di Lawang dengan nama
pelindung St. Fransiskus Xaverius. Setelah selesai mengikuti pendidikan
ia kembali ke desa asalnya, yaitu Purworejo. Untuk selanjutnya, ia lebih
dikenal dengan nama Fransiskus Xaverius Doeto Oetomo. Enam orang
saudaranya mengikutinya dan dipermandikan. Mereka kemudian membangun
diri sebagai keluarga kristiani.
Kelompok kecil inilah
yang kemudian menjadi perintis umat paroki Purworejo di antaranya yaitu
keluarga Ambrosius Pademo, Y. Wiramijo, Paulus Darmosusanto, dan St.
Mitrah.
Pada tahun 1938 kelompok kecil ini mengajukan
permohonan agar di Desa Purworejo dibuka sekolah misi. Permohonan mereka
dikabulkan. Maka pada tanggal 1 Agustus 1938 dibukalah Sekolah Rakyat
Katolik yang diampu oleh seorang guru, yaitu A. Dibjasoesanto. Sekolah
menjadi sarana kerasulan, meski pada kurun waktu 1938-1945 banyak
tantangan yang harus dihadapi. Zaman penjajahan Belanda dan Jepang dengan situasi politik menjadi hambatan bagi perkembangan gereja Katolik.
Pada
tahun 1938-1941, FX. Doeto Oetomo ditugaskan untuk mengajar di Sekolah
Rakyat Katolik di Kedungkandang. Tahun 1941-1942 ia pun bertugas di SRK
Ngrejo milik Yayasan Karmel, di samping juga menjadi juru tulis. Pada
tahun 1946 keluarga FX. Doeto Oetomo kembali ke Purworejo dan bekerja
sebagai petani serta menjabat sebagai pengurus koperasi di Donomulyo.
Pada tahun 1948 bersama dengan teman-temannya, ia membuka kembali
sekolah yang sejak pendudukan Jepang ditutup. Selanjutnya sekolah itu
diresmikan oleh Yayasan Karmel pada tanggal 18 Februari 1950 dan
disahkan oleh Bupati Malang dengan surat bernomor 31/I. Ag 28-7-1950.
Ciri khas kehadiran gereja Katolik di daerah ini adalah setiap Minggu
mereka berkumpul untuk beribadat memuliakan Tuhan. Seusai ibadat
biasanya mereka masih mengadakan kegiatan susulan, seperti olahraga atau
merencanakan kegiatan jemaat lainnya. Semangat peribadatan mereka cukup
besar. Bahkan terkadang pada hari Minggu tertentu mereka bersama-sama
berjalan kaki untk mengikuti misa di Kepanjen.
Namun
semenjak sekolah dibuka kembali, pelayanan misa pun berjalan rutin yaitu
setiap dua bulan sekali dan pada setiap hari raya Natal dan Paskah.
Pada tahun 1957 Romo G.J.A. Louis, O Carm datang diantar oleh Romo L.B.
Djajus, O Carm untuk mengawali karyanya sebagai Pastor paroki yang
pertama. Ia menyelesaikan pembangunan gedung SRK Xaverius dan
merencanakan pembangunan gedung gereja di komplek SRK tersebut. Pada
tanggal 30 Maret 1958 gedung gereja yang berdinding papan itu diberkati
oleh Mgr. A.E.Y. Albers, O Carm.
Selanjutnya diadakan
pembangunan Gua Maria yang diprakarsai oleh umat Katolik setempat.
Pembangunan tempat ziarah dikerjakan secara bergotong royong. Pada tahun
1959 gua tersebut diberkati dan diberi nama Sendang Purwaningsih yang
berarti sumber segala rahmat. Sumber air gua ini berasal dari Sendang
Purwaningsih. Dalam bahasa Jawa, sendang berarti sumur atau sumber,
purwa berarti awal atau permulaan, dan sih berarti kasih atau rahmat
kasih. Selanjutnya tempat ziarah ini menjadi sangat populer di kalangan
umat Katolik di Malang.
Pernah sekali peristiwa patung
Bunda Maria ini dicuri oleh seseorang dan dibuang di Sungai Purworejo.
Hal itu diketahui, karena ada seseorang yang sedang mencari ikan di
sungai menemukan arca itu.
Pada tanggal 19 September 1959 Bapak FX. Doeto Oetomo wafat. Jenazahnya dimakamkan di makam Katolik Purworejo. Setelah FX Doeto Oetomo wafat, istri dan tujuh orang putranya pindah rumah ke Jalan Trisula Malang. Halaman rumahnya yang dipakai untuk tempat ziarah ditinggalkan.
Antara 1959-1970 setiap bulan Mei dan Oktober selalu diselenggarakan Misa Kudus setiap ada pembukaan dan penutupan bulan Maria dan bulan Rosario. Yang hadir di samping umat Paroki Purworejo sendiri juga umat dari paroki lain, khususnya dari Paroki Kota Malang. Sejak tahun 1971-1985 gua tersebut tidak mungkin dijangkau oleh para peziarah karena terjadi tanah longsor sehingga jalan ke gua putus oleh aliran sungai.
Pada tanggal 19 September 1959 Bapak FX. Doeto Oetomo wafat. Jenazahnya dimakamkan di makam Katolik Purworejo. Setelah FX Doeto Oetomo wafat, istri dan tujuh orang putranya pindah rumah ke Jalan Trisula Malang. Halaman rumahnya yang dipakai untuk tempat ziarah ditinggalkan.
Antara 1959-1970 setiap bulan Mei dan Oktober selalu diselenggarakan Misa Kudus setiap ada pembukaan dan penutupan bulan Maria dan bulan Rosario. Yang hadir di samping umat Paroki Purworejo sendiri juga umat dari paroki lain, khususnya dari Paroki Kota Malang. Sejak tahun 1971-1985 gua tersebut tidak mungkin dijangkau oleh para peziarah karena terjadi tanah longsor sehingga jalan ke gua putus oleh aliran sungai.
Pada tahun 1984 Dewan
Paroki beserta pastor Paroki Purworejo, yaitu Pastor H. Demmer, O Carm
merencanakan untuk membangun kembali tempat untuk menghormati Bunda
Maria. Rencana pembangunan tersebut direalisasikan tepat pada hari raya
Pesta Perak Paroki Purworejo pada 1985. Tempat yang dipilih adalah
puncak Bukit Trianggulasi, dekat sumber hayati. Tempat ini sebelum
ditempati bangunan gua, berupa tanah padang rumput yang gundul tanpa
tanaman yang menghijau. Beberapa umat Katolik sering mengadakan meditasi
di tempat itu. Tempatnya cukup sepi karena jauh dari perumahan
penduduk, sehingga mudah menciptakan suasana hening. Pembangunan
dikerjakan secara gotong royong, khususnya dalam membentuk teras-teras
agar tanah tidak habis tererosi. Umat Islam pun ikut berperan serta
dalam kerja bakti membangun tempat ziarah itu.
Pada
tanggal 25 Mei 1986 gua ini diberkati oleh Uskup Malang, Mgr. FX.
Hadisoemarto, O Carm. Nama gua tersebut atas kesepakatan bersama tetap
menggunakan nama yang pernah dipakai umat terdahulu, yaitu Sendang
Purwaningsih. Kemudian tempat ziarah ini dilengkapi dengan sebuah sumur
atau sendang Purwaningsih yang diberkati oleh Pastor H. Demmer, O Carm
pada tanggal 10 Mei 1990. Pada saat itu, secara resmi Gua Maria Sendang
Purwaningsih dibuka untuk tempat peziarahan umat Katolik yang tinggal di
sekitar lokasi. Selanjutnya dibangun pula sebuah pendopo untuk
berteduh, gudang, dan Panti Samadi. Juga telah diupayakan penghijauan
lokasi agar para peziarah merasa nyaman karena dapat berteduh. Dengan
demikian, diharapkan para peziarah dapat berziarah dengan tenang,
khusuk, dan tidak merasa bosan. Akhirnya di tempat ini banyak umat
Katolik dari berbagai paroki berdoa, memanjatkan doa syukur ataupun
permohonan.
(Sumber: guamaria.info dll)
(Sumber: guamaria.info dll)